Tip untuk Presiden Direktur

Ketika seseorang meniti karir mulai dari staff paling bawah, kroco, bahkan banyak kasus seseorang mulai dari resepsionis, sampai akhirnya menjadi Presiden Direktur. Sudah barang tentu memerlukan daya, tenaga dan waktu. Orang tersebut pastilah berusaha untuk meningkatkan kualitas sumber dayanya, yaitu meningkatkan mutu dari pada Kapital Kemanusiaannya (Human Capital).
Tokoh-tokoh ekonomi dunia seperti Garry Backer, dari University of Chicago, Ben Porath, juga dari sekolah yang sama, berpendapat bahwa manusia itu samalah seperti sebuah mesin. Ambillah mobil sebagai misal. Mobil itu akan berfungsi dengan baik, jika suku cadangnya diperbaharui dan selalu diservice. Jika tidak demikian, maka mobil itu akan menjadi besi tua dan nilainya akan merosot betul. Dalam hal ini manusia kalau tidak dilatih atau disekolahkan, dan tidak dipelihara kesehatannya, maka dia tidak akan bernilai. Jadi paling banter hanya sebagai pesuruh saja. Ketika ia rajin melatih diri secara formal dan juga bersekolah dan kesehatan dipelihara, maka nilai dirinya sebagai Human Capital pasti menaik. Akhirnya orang yang seperti ini akan mencapai puncak karirnya sebagai Presiden Direktur atau bahkan Presiden Republik, kenapa tidak?

Ketika seseorang itu berada pada posisi puncak, maka dia akan kesepian di situ, dan dia harus mengambil keputusan. Kata orang Amerika, ”The buck stop here!”. Dia, sebagai Presiden Direktur tidak bisa lagi mengelak untuk tidak mengambil keputusan. Dia tidak boleh menganut sekolah atau aliran bahwa tidak ada keputusan itulah suatu keputusan. Kalau ini yang dia ambil, maka berarti dia mengundang kekacauan (chaos).

Bagaimana Mengambil Keputusan?
Menurut Professor Keniche Ohmahe, seorang pakar manajemen dunia yang berasal dari Jepang, beliau menjelaskan bahwa ada 3 (tiga) cara mengambil keputusan yaitu: Pertama, mengambil keputusan berdasarkan intuisi, perasaan, feeling. Ini bisa baik dan bisa juga mengundang bencana (dissarter). Apalagi apabila ia berkonsultasi kepada para normal, dukun dan orang pintar. Kedua, mengambil keputusan berdasarkan mekanisme, berdasarkan buku petunjuk (directory). Kalau si pengambil keputusan terlalu kaku, maka hasilnya dia tidak akan berani mengambil keputusan terhadap hal-hal yang tidak ada di dalam buku petunjuk. Ketiga, mengambil keputusan secara strategi. Seorang strategis dia mengetahui betul apa masalahnya, biasanya mengetahui masalah (problem identification) sudah tentu suatu permulaan yang baik, dan dia tahu betul pilihan-pilihan solusi yang tersedia, dan dapat memperkirakan bagaimana hasil akhirnya.
Pengambil-pengambil keputusan (decicion makers) yang seperti inilah, yakni mengambil keputusan secara strategis, yang diperlukan hampir di setiap level dan banyak sekali diperlukan oleh Indonesia. Mulai dari lurah, camat, bupati, gubernur, terus sampai kepada orang yang paling atas, ya Presiden sangat diperlukan oleh Indonesia. Itu baru di sektor publik. Di sektor swasta, atau private juga diperlukan adanya pengambil keputusan yang bersifat strategis. Ini akan membuat Indonesia maju menuju kepada tercapainya cita-cita kemerdekaan, yaitu mengkayakan rakyat Indonesia semuanya.

Tip Untuk Seorang Presiden Direktur
Ketika seseorang itu berada di posisi puncak, maka ia kesepian dan harus berani mengambil keputusan. Di suatu acara temu pisah (farewell and welcoming party) presiden baru dengan presiden lama dari suatu perusahaan, setelah semua tamu pulang maka yang tinggal adalah presiden lama dengan presiden baru. Presiden lama lalu berujar kepada presiden baru, “Kawan, anda nanti akan sendiri di atas sana. Untuk itu anda saya titipkan tiga amplop yang berisi nasehat-nasehat. Anda harus berhemat-hemat karena amplopnya cuma tiga. Anda jangan membuka amplop kecuali ada masalah besar sekali yang tidak bisa lagi anda selesaikan dengan cara apapun juga”.
Membuat cerita ini menjadi singkat, setelah 3 (tiga) tahun pertama timbullah masalah besar sekali di perusahaan itu. Presiden baru telah mengadakan banyak rapat koordinasi, rapat-rapat khusus dan sudah mempekerjakan banyak konsultan, bahkan juga orang pintar. Ternyata masalah tidak dapat diselesaikan. Presiden baru teringat kepada tiga amplop sangu (Tip) dari pendahulunya. Lalu dibukalah amplop nomor satu, dan nasehatnya. “Salahkan pendahulumu!”. Presiden baru kemudian mengadakan rapat koordinasi lagi dan disebut siapa yang membuat masalah ini yaitu pendahulunya yang sudah pensiun. Setelah itu perusahaan berjalan lagi dengan mulus.
Selanjutnya datang lagi masalah besar kedua setelah enam tahun, maka setelah segala macam cara tidak mempan, maka terpaksa dibuka lagi amplop nomor dua. Tip nasehatnya, “Salahkan pemerintah”. Setelah itu perusahaan jalannya baik lagi. Akhirnya datang lagi masalah besar ketiga, yakni setelah sembilan tahun dan dengan berat hati terpaksa dibuka amplop ketiga, amplop terakhir. Isi nasehatnya, “Siapkan tiga amplop”. Artinya, tip dari presiden lama, bahwa saatnya anda harus turun. Seorang pemimpin yang besar, ia harus tahu kapan ia harus lengser. Jadi ada generasi penerus dan bukan membuat dirinya menjadi generasi terus menerus. Kayaknya di Indonesia lebih banyak generasi terus menerus ketimbang generasi penerus. Salah siapa?

Ditulis oleh: Marzuki Usman

Tidak ada komentar: