Knowledge Management

Menghadapi iklim usaha yang kompetitif, untuk dapat mempertahankan eksistensinya, ada dua hal pokok yang harus selalu dilakukan oleh suatu perusahaan yaitu ‘to create customers’ dan ‘to innovate’ sehingga menghasilkan nilai-tambah perusahaan terhadap pesaing. Dalam kenyataannya, proses penciptaan customer dan proses inovasi merupakan rangkaian kegiatan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Posisi perusahaan di mata customer sejalan dengan inovasi-inovasi yang mampu dilakukan dan ditawarkan oleh perusahaan. Proses inovasi akan tumbuh subur jika dikembangkan sikap keberanian bereksperimen (menciptakan risiko) dalam suasana kerja yang harmonis yang didukung oleh pengalaman dan pengetahuan yang memadai mengenai lingkup bisnis perusahaan dan perkembangannya.
Oleh karena itu sudah menjadi kesadaran dan kepentingan berbagai perusahaan untuk memacu proses pembelajaran, baik bagi individu pegawai maupun pada tataran organisasi. Dapat dikatakan bahwa pembelajaran adalah suatu proses untuk meningkatkan keterampilan, pengetahuan, wawasan dan akhirnya percaya diri yang diharapkan akan menunjang peningkatan kinerja individu dan organisasi untuk menghasilkan nilai-tambah bagi perusahaan.

Dalam kaitannya dengan proses learning (pembelajaran), ada 3 kondisi strategis yang perlu selalu diperhatikan dan diperjelas, yaitu:
1. Apa peran learning dalam perusahaan?
2. Bagaimana iklim, budaya, dan infrastruktur dapat menunjang proses learning di perusahaan?
3. Bagaimana kita men-justify kegiatan learning sebagai proses integral dalam bisnis perusahaan?
Jawaban dari tiga pertanyaan di atas akan menunjukkan tingkat keyakinan dan kesiapan suatu perusahaan akan pentingnya proses pembelajaran bagi perusahaan.
Suatu pemahaman yang kurang tepat dalam proses pembelajaran adalah bahwa pembelajaran seringkali diartikan sebagai kegiatan penambahan pengetahuan-pengetahuan baru semata sehingga pengetahuan yang telah ada sebelumnya, yang dimiliki di dalam organisasi, menjadi terabaikan dan tidak dapat diidentifikasi lagi. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, maka diperkenalkan suatu konsep pengelolaan pengetahuan yang disebut dengan “Knowledge Management”.
Terdapat berbagai definisi tentang apa itu knowledge management (KM). Ada yang mengatakan KM adalah suatu proses, suatu kegiatan, suatu benda (entity), suatu kemampuan (capability), bahkan ada pula yang mengatakan bahwa KM adalah suatu cara berpikir. Namun apapun definisinya, KM selalu berbicara mengenai pengelolaan knowledge atau pengetahuan. Oleh sebab itu, adalah penting bagi kita untuk memahami apa yang dimaksud dengan pengetahuan, dan yang lebih penting lagi adalah untuk memahami pengetahuan apa yang telah dimiliki oleh perusahaan dan pengetahuan apa yang harus diperoleh perusahaan agar dapat terus mempertahankan kemampuannya untuk bersaing.
Untuk menyamakan pemahaman, tulisan ini akan diawali dengan uraian mengenai apa yang dimaksud dengan pengetahuan. Kemudian akan disajikan kerangka berpikir yang dapat dipakai perusahaan untuk mengindentifikasikan pengetahuan dan akhirnya, tulisan akan ditutup dengan hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam aspek sumber daya manusia di perusahaan setelah perusahaan mengidentifikasikan pengetahuan yang dimiliki serta yang harus dicari.

I. PENGERTIAN KNOWLEDGE
Pengetahuan atau knowledge, bukanlah data, bukan pula informasi, namun sulit sekali dipisahkan dari keduanya. Perbedaan antara data, informasi dan pengetahuan seringkali hanya pada masalah derajat kedalamannya, dimana pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang lebih mendalam dibandingkan informasi, apalagi data.


Gambar 1 menunjukkan hubungan antara tingkat-tingkat dalam hierarki konsep simbol, data, informasi, dan pengetahuan. Terlihat bahwa simbol merupakan tingkat yang paling dasar dalam hierarki konsep pengetahuan. Setiap ‘gerakan’ ke arah atas, menuju pengetahuan, dikatakan sebagai proses pengayaan (enrichment).
Secara intuitif, kebanyakan orang merasa bahwa pengetahuan merupakan sesuatu yang lebih luas, lebih mendalam, serta lebih kaya dibandingkan informasi, apalagi data. Kebanyakan orang mengatakan seseorang yang berpengetahuan atau knowledgeable person, merujuk pada seseorang yang berpendidikan, cerdas, memiliki pemahaman yang mendalam dan dapat dipercaya mengenai suatu subyek. Tidak pernah terdengar orang membicarakan pengetahuan dengan merujuk pada dokumen, memo, atau basis-data yang berpengetahuan, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa hal-hal tersebut memang dihasilkan oleh orang-orang yang berpengetahuan.
Terdapat dua jenis pengetahuan: pengetahuan explicit dan pengetahuan tacit, yang dapat diekspresikan sebagai berikut:

Pengetahuan = Pengetahuan explicit + Pengetahuan tacit

Explicit knowledge atau pengetahuan eksplisit, dapat diekspresikan dalam kata-kata dan angka, serta dapat disampaikan dalam bentuk formula ilmiah, spesifikasi, manual-manual, dan sebagainya. Pengetahuan jenis ini dapat segera diteruskan dari satu individu ke individu lain secara formal dan sistematis.
Di lain pihak, tacit knowledge atau pengetahuan terbatinkan, bersifat sangat personal dan sulit dirumuskan, sehingga membuatnya sulit untuk dikomunikasikan atau disampaikan pada orang lain. Perasaan pribadi, intuisi, bahasa tubuh, pengalaman fisik, petunjuk praktis (rule-of-thumb) termasuk dalam jenis pengetahuan terbatinkan.

II. KERANGKA BERFIKIR
“Knowledge apa yang dibutuhkan perusahaan?”. Untuk membantu perusahaan mengidentifikasikan pengetahuan apa yang harus dimiliki dan yang sudah dimiliki, diharapkan kerangka berpikir dalam Gambar 2 di bawah ini bisa membantu.


Dalam Gambar 2 ditunjukkan bahwa analisis kesenjangan pengetahuan atau knowledge gap analysis pada dasarnya merupakan kegiatan yang sulit sekali dipisahkan dari kegiatan penyusunan strategi perusahaan.
Gambar 3 di bawah menunjukkan hubungan antara strategi perusahaan, strategi pengetahuan, dan manajemen pengetahuan atau KM. Strategi generik yang dikenal bagi strategi pengetahuan adalah codification strategy dan personalisation strategy.


Kedua strategi generik tersebut biasanya didetailkan menjadi empat strategi pengetahuan, yaitu: Intellectual Asset Management Strategy, Personal Knowledge Asset Responsibility Strategy, Knowledge Creation Strategy, dan Knowledge Transfer Strategy.
Merujuk pada Gambar 2, untuk menyusun suatu strategi bisnis, umumnya perusahaan melakukan analisis terhadap lingkungan makro dan lingkungan industri untuk mengidentifikasi faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi perusahaan dalam melakukan bisnis. Dari analisis makro dan industri tersebut, diperoleh peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan perusahaan, ancaman-ancaman yang dapat mengganggu kinerja perusahaan, serta faktor-faktor kunci sukses.
Seperti telah dipahami oleh para praktisi bisnis, faktor-faktor kunci sukses merupakan faktor-faktor yang kritis yang harus sangat diperhatikan oleh semua perusahaan yang ingin beroperasi dalam suatu industri. Dengan bantuan faktor kunci sukses sebagai kriteria, perusahaan dapat melakukan evaluasi terhadap dirinya. Evaluasi internal perusahaan ini akan menghasilkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki perusahaan, tak ketinggalan pula kelemahan-kelemahan yang harus diperbaiki oleh perusahaan. Dengan mempertimbangkan peluang dan ancaman dari lingkungan eksternal, serta kekuatan dan kelemahan dari analisis internal perusahaan, dapat ditentukan sasaran perusahaan dan strategi atau cara mencapai sasaran perusahaan tersebut.
Selanjutnya, strategi perusahaan langsung diterjemahkan menjadi hal-hal yang harus dilakukan perusahaan dalam kurun waktu tiga sampai lima tahun ke depan, sementara kekuatan dan kelemahan perusahaan diterjemahkan menjadi hal-hal yang sudah bisa (mampu) dilakukan oleh perusahaan pada saat ini. Kesenjangan antara apa yang harus dilakukan perusahaan dengan apa yang dapat dilakukan perusahaan dikenal dengan nama kesenjangan strategi.

Identifikasi pengetahuan yang sudah dimiliki oleh perusahaan.
Hal-hal yang saat ini bisa dilakukan oleh perusahaan, pada dasarnya didukung oleh pengetahuan-pengetahuan yang saat ini telah dimiliki perusahaan. Sebagai contoh, sebuah perusahaan pembuat kue kering (hal yang dapat dilakukan) tentu memiliki pengetahuan mengenai cara membuat kue kering.

Identifikasi pengetahuan yang harus dimiliki oleh perusahaan.
Apakah pengetahuan yang sudah dimiliki perusahaan tersebut cukup bagi perusahaan untuk menjalankan strategi bisnisnya?
Merujuk kembali pada faktor-faktor kunci sukses serta strategi perusahaan, dapat diidentifikasi pengetahuan-pengetahuan yang harus dimiliki oleh perusahaan. Perbedaan antara pengetahuan yang harus dimiliki perusahaan dengan pengetahuan-pengetahuan yang sudah dimiliki perusahaan saat ini dikenal dengan sebutan kesenjangan pengetahuan.

III. IMPLIKASI PADA SUMBER DAYA MANUSIA DI PERUSAHAAN
Setelah perusahaan mengidentifikasikan pengetahuan-pengetahuan yang telah dimiliki serta yang masih harus diakuisisi, maka dilakukan analisis terhadap infrastruktur information communication technology atau ICT dan kondisi sumber daya manusia. Analisis kedua komponen KM tersebut tidak diterangkan di sini, demikian pula penyusunan strategi KM yang meliputi harmonisasi antara ketiga komponen KM: content (pengetahuan), people (sumber daya manusia), dan technology (ICT).
Namun penelitian secara empiris menunjukkan adanya permasalahan yang berkaitan dengan kegiatan akuisisi, berbagi/menularkan (sharing), dan pemanfaatan (utilization) dari knowledge. Beberapa hal yang sering muncul dalam masing-masing kegiatan adalah sebagai berikut:
• Akuisisi
- Perusahaan tidak memiliki kebijakan yang efektif untuk mendukung akuisisi pengetahuan;
- Daya serap karyawan rendah, sehingga kegiatan akuisisi tidak efektif.
• Berbagi
- Karyawan enggan atau tidak memiliki waktu yang cukup untuk berbagi pengetahuan;
- Perusahaan tidak memiliki kebijakan serta praktek berbagi pengetahuan.
• Pemanfaatan
- Karyawan lebih senang menjalani hal-hal yang biasa dilakukan (rutin), enggan menerapkan pengetahuan-pengetahuan baru;
- Perusahaan tidak memiliki kebijakan serta praktek yang mendukung pemanfaatan pengetahuan baru.

Dengan mempertimbangkan ketersediaan waktu serta pentingnya pengetahuan yang dibutuhkan, perusahaan dapat memilih apakah akuisisi pengetahuan dilakukan melalui kegiatan pelatihan dan pembelajaran atau harus melakukan aliansi strategis dengan perusahaan lain yang memiliki pengetahuan yang diinginkan. Demikian pula dengan berbagi pengetahuan. Sebagai contoh, beberapa perusahaan membentuk tim gabungan lintas fungsi untuk memicu terjadinya ‘penularan’ pengetahuan di antara para anggota tim. Selain itu dapat pula dimanfaatkan orang-orang yang dipandang sebagai unggul, berpengetahuan, dan mempunyai kinerja prima sebagai pemicu penularan pengetahuan. Namun penting sekali untuk disadari bahwa proses berbagi dan pemanfaatan pengetahuan akan terjadi dengan baik bila ada ‘situasi yang bersahabat’. Berperilaku santun pada orang lain adalah hal yang baik karena akan memungkinkan terjadinya penularan pengetahuan melalui iklim yang sarat kerjasama, kesetiaan, kebersamaan, dan kreativitas. Oleh sebab itu, para ahli manajemen pengetahuan seperti Von Krogh, Ichiyo dan Nonaka (dalam Enabling Knowledge Creation, 2000) menyampaikan adanya lima dimensi yang disebutnya sebagai the dimension of care.
Kelima dimensi yang dapat mengatasi hambatan dan melancarkan proses penularan dan pemanfaatan pengetahuan itu adalah:
1. Membangun rasa saling percaya di antara para anggota organisasi, terlepas dari kedudukan, kecerdasan, dan kinerja;
2. Berempati secara aktif, sehingga setiap anggota organisasi bisa mengetahui apa masalah yang dihadapi anggota yang lain dan apakah pengetahuan yang saat ini dimiliki bisa membantu anggota tersebut;
3. Bila empati secara aktif merupakan fondasi berpikir bagi setiap orang bahwa ia bisa membantu orang lain, maka akses pada pertolongan merupakan dimensi ketiga yang membuat setiap orang dalam perusahaan, terutama orang-orang yang ‘lebih’ dibandingkan yang lain, menjadikan dirinya sebagai tempat untuk dimintai pertolongan;
4. Proses penularan tidak dapat berjalan secara sekaligus, melainkan sedikit demi sedikit. Selain itu, tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama dalam proses belajar. Oleh sebab itu kita harus cukup toleran dalam mengevaluasi kinerja atau kemajuan orang lain dalam proses belajar;
5. Terakhir, tidak akan ada interaksi positif seperti penularan pengetahuan, di antara anggota organisasi, bila masing-masing anggota tidak memiliki keberanian untuk berinteraksi. Berani untuk bereksperimen, berani untuk mengemukakan pendapat atau umpan balik, dan berani menyampaikan gagasan sebagai alternatif solusi masalah.

(Diambil dari materi workshop Knowledge Management,
Lembaga Manajemen PPM)

Baca selengkapnya..

Fokus Itu Penting

Di dalam buku The 21 Indispensable Qualities for a Leader karangan Dr John C Maxwell. Dituliskan bahwa Fokus merupakan salah satu dari 21 poin penting syarat sebagai seorang Leader yang baik. Semakin tajam fokus Anda, semakin baik kualitas Anda dalam memimpin. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana agar kita bisa memfokuskan energi dan waktu yang kita miliki?
Tips berikut mungkin akan membantu:

Pertama, fokuskan 70% pada kekuatan Anda (strength). Pemain alat musik yang expert pasti akan berfokus pada satu alat musik saja misalkan Ahli pemain Biola mungkin tidak ahli dalam bermain trompet atau piano. Peter Drucker mengatakan (terjemahan bebas versi sofian “Sesungguhnya, tidak ada orang yang mempunyai prestasi buruk, yang ada adalah mengapa hanya sesekali orang tersebut berprestasi baik”. Semua hal yang dilakukan secara rata-rata (universal) tidak akan memberikan kompensasi yang berarti. Kekuatan itu selalu bersifat spesifik yang fokus.
Kedua, fokuskan 25% kepada hal-hal yang baru. Pertumbuhan sama halnya dengan perubahan. Jika ingin menjadi lebih baik, harus berubah dan memperbaiki diri. Itu artinya bersiaplah untuk memasuki hal-hal yang baru. Jika Anda mencurahkan waktu, energi, perhatian, dan sumber daya kita untuk hal-hal baru yang berkaitan dengan kekuatan (strength), maka akan bertambahlah kualitas leader dalam kepemimpinan Anda.
Ketiga, dimana fokus 5% sisanya? Barulah fokus kepada kelemahan kita (weakness). Tidak ada seseorang pun di dunia yang tidak memiliki kelemahan. Apa yang harus dilakukan dengan kelemahan kita? Mudah saja, delegasikan kepada orang lain yang memiliki kekuatan di bidang kelemahan kita. Ini yang sering saya lakukan saat ini dalam aktivitas saya sebagai System Analyst yang boleh dikatakan tidak terlalu mahir di bidang programming (walaupun pernah saya tekuni beberapa tahun yang lalu). Ketika ada klien yang butuh berbicara lebih teknis dan spesifik tentang programming, maka Programmer-lah yang saya ajak untuk mendampingi saya. Sederhanakan? Bagaimana jika ada orang yang memberikan porsi lebih pada sisi kelemahannya? Jelas dampaknya akan cukup fatal, bahkan bisa-bisa akan menutup 'matahari' yang besar itu. Tidak percaya? Coba ambillah satu koin 500 perak, picingkan salah satu mata Anda dihadapan matahari maka mataharipun akan tertutup dengan koin 500 perak. Ilustrasi tersebut memberikan pemahaman bahwa jika kelemahan yang menjadi fokus, maka jelas akan sulit bagi kita untuk berkembang. Kita kurang bisa melihat kesempatan emas yang ada di sekitar kita. Kita tidak akan bisa melihat kelebihan orang lain, dan pasti pergaulan kita akan terbatas. Dan bisa jadi kita akan merepotkan atau bahkan tidak disukai banyak orang.

Baca selengkapnya..

Enterprise Information System (EIS)

Sering kita melihat bahwa aplikasi atau software yang dipakai sehari-hari di atas PC atau laptop adalah aplikasi yang sifatnya individual. Artinya aplikasi tersebut hanya digunakan untuk melayani kebutuhan pemakai itu saja, misal Microsoft Office atau OpenOffice, Photoshop, Acrobat Reader, dan lain-lain. Tentunya hal ini sudah sangat mencukupi jika memang informasi yang diolah hanya diperlukan oleh pemakai tersebut saja. Dengan skala yang sedikit lebih luas, ada juga aplikasi yang melayani kebutuhan suatu bagian atau divisi saja. Misal aplikasi kepegawaian, aplikasi keuangan, aplikasi penjualan, dan sebagainya. Di dalam aplikasi seperti ini, antar pemakai di divisi yang sama bisa saling berbagi informasi dengan mudah.
Sekarang bagaimana dengan informasi yang harus digunakan oleh divisi atau bagian yang lain? Semua informasi tentang berapa banyak barang yang terjual di divisi Sales apakah dengan mudah bisa langsung diketahui oleh bagian Keuangan dan juga bagian Logistik? Saat-saat seperti inilah kita akan membutuhkan suatu sistem informasi yang bisa menyatukan semua informasi yang ada di masing-masing bagian atau divisi tadi. Pada beberapa literatur, sistem informasi seperti ini sering disebut Enterprise Information System (EIS).

Hal mendasar dari EIS adalah platform teknologi yang bisa menyatukan semua informasi dari berbagai bagian menjadi satu (single) informasi secara logikal, sehingga Enterprise (perusahaan/organisasi) bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkan dengan mudah. Dalam hal ini, tidak hanya sekedar penggunaan teknologi jaringan, misal LAN (local area network) sehingga antar divisi terhubung secara fisik, tapi juga integrasi proses bisnis masing-masing divisi. Dibutuhkan juga penyatuan semua database secara logikal, sehingga bukan hanya antar divisi tapi juga pengaksesan informasi untuk semua level di organisasi baik dari staf operasional, supervisor, manajer, maupun direktur.
Contoh EIS yang sering kita dengar adalah Enterprise Resource Planning (ERP), Customer Relationship Management (CRM), Supply Chain Management (SCM), dan masih banyak yang lainnya. Tantangan terbesar dalam implementasi EIS adalah tingkat kesulitannya. Karena bisa jadi sistemnya sangat kompleks, sehingga membutuhkan waktu yang lama, biaya yang mahal, dan belum tentu berhasil. Walaupun begitu, sekarang makin banyak pilihan untuk solusi EIS ini. Sehingga perusahaan bisa menentukan solusi mana yang paling cocok. Beberapa contoh vendor EIS komersial seperti SAP (www.sap.com), Oracle (www.oracle.com), dan sebagainya. Ada pula aplikasi EIS yang bersifat free (gratis). Dan tidak menutup kemungkinan, EIS juga bisa dibangun sendiri oleh staf IT internal suatu perusahaan, selama memenuhi syarat-syarat tersebut di atas.

Ditulis oleh: Surahyo Sumarsono

Baca selengkapnya..

Hukum Kepemimpinan

Apa yang membedakan seorang manajer yang memiliki karakter "pemimpin" dengan manajer "biasa" walaupun ia telah mengikuti berbagai macam pelatihan kepemimpinan yang sangat keras?
Mengapa ada pemimpin yang seperti ditakdirkan sebagai orang besar, sedangkan ada pemimpin lainnya disalahkan atau menyalahkan diri karena memimpin secara biasa-biasa saja?
Jika menurut anda perbedaan tersebut hanya terletak pada "keberuntungan" atau "kesempatan", pendapat anda tidak sepenuhnya benar. Hanya sebagian kecil dari pemimpin sukses mencapai keberhasilan besar melalui keberuntungan dan kesempatan.

Berdasarkan suatu data statistik, banyak pemimpin besar meraih keberhasilan dalam pekerjaan dan kehidupannya melalui seperangkat hukum kepemimpinan yang mendetail dan merupakan prinsip-prinsip yang telah diujicobakan. Sedangkan manajer "biasa", tanpa mengecilkan usaha mereka dalam menjalankan sistem kepemimpinan lain yang cukup beragam, pada kenyataannya tidak mempunyai banyak kesempatan untuk menjadi seorang pemimpin sejati.
Dengan menerima kesepuluh prinsip ini atau paling tidak sebagian besar darinya, kesuksesan berada tak jauh dari anda. Berikut adalah ringkasan dari 10 hukum kepemimpinan yang telah diterima dan dikembangkan oleh pelaku-pelaku bisnis dengan landasan yang cukup kuat sehingga memungkinkan seorang manajer "biasa" membuat satu lompatan besar menjadi seorang "pemimpin".

Hukum 1. Pemimpin memiliki visi
Visi adalah kunci untuk memahami kepemimpinan. Seorang pemimpin sejati tidak pernah kehilangan kemampuan seperti yang dimiliki anak-anak: berimajinasi/bermimpi. Dan ini mereka wujudkan dalam bentuk visi; yaitu impian tentang masa depan; atau seperti melihat sebuah lukisan besar yang mana pemimpin itu sendiri ikut melukis suatu bagiannya. Dengan demikian, visi menjadi sebuah tantangan dunia bagi setiap pemimpin untuk membuat jejak langkah di sana, melalui kekuatan ide, kepribadian, nilai-nilai diri,
dan harapan.
Bagi pemimpin dan pengikutnya, tidak ada sesuatu yang lebih menyenangkan dan memotivasi orang daripada visi untuk mendapatkan sesuatu yang istimewa. Maka, kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk meraih tujuan yang diminati oleh sebagian besar kelompok tersebut. Di lain pihak, tujuan tersebut menguntungkan bagi mereka. Oleh karena itu, visi bersama haruslah menjadi perasaan yang komprehensif tentang posisi, arah, dan cara hidup untuk meraih tujuan, dan apa yang akan dilakukan ketika tujuan itu teraih. Visi seperti api ungun di perkemahan, dimana orang-orang berkumpul mengelilinginya karena cahaya, energi, kehangatan, dan kebersamaan.
Meski visi adalah impian, namun visi harus fokus dan khas. Visi yang terlalu luas akan membuat pemimpin seolah-olah berada di awang-awang dan kehilangan keberanian untuk mencoba. Visi anda harus berpijak pada kenyataan sehingga tujuan bisa diraih dengan sukses dan tidak mematahkan semangat anda dan orang-orang di sekitar anda.

Hukum 2. Pemimpin memiliki disiplin
Di dunia ini berlaku hukum tak tertulis, apakah kita akan mendisiplinkan diri sendiri atau yang akan didisiplinkan oleh orang lain. Keberhasilan yang berlangsung terus menerus tidak bisa diraih tanpa disiplin, ketekunan, dan usaha. Disiplin merupakan mandat bagi pemimpin untuk meraih tujuan dan visinya.
Salah satu kesalahan besar generasi kita adalah tidak terlalu menghargai pentingnya kedisiplinan. Banyak orang terpengaruh oleh budaya superfisial yang cenderung menolak segala bentuk pengekangan, dan mengikuti dorongan alami diri kita untuk bersikap santai. Kita dengan mudah melupakan fakta bahwa segala sesuatu dalam hidup tidak mungkin diraih tanpa disiplin. Sangat sering terjadi seorang pemimpin meraih sukses pada tingkat tertentu, dan kemudian berhenti dan kehilangan semangat bertarung. Mereka harus kembali pada titik start mereka. Ini dikarenakan mereka kehilangan milik mereka yang berharga, yaitu kedisiplinan diri.

Hukum 3. Pemimpin memiliki kebijaksanaan
Pengetahuan dapat diingat, sedangkan kebijaksanaan menembus batas-batas fisik. Kebijaksanaan adalah sesuatu yang memudahkan kita untuk menggunakan pengetahuan secara benar. Kita hidup di jaman ledakan pengetahuan. Berbagai studi memperlihatkan bahwa setengah dari pengetahuan manusia telah ditemukan satu dekade yang lalu dan seterusnya. Lebih lanjut, pengetahuan kita akan berlipat ganda pada dekade terakhir.
Pemimpin yang efektif selalu mengembangkan pengetahuannya dengan membaca. Mereka mengumpulkan fakta yang diperlukan sehingga tidak terbatasi dirinya dalam mengambil keputusan. Dengan berpengetahuan, seorang pemimpin tidak takut, ragu-ragu, atau khawatir dalam menyelesaikan pekerjaan, dan terbantu untuk mengatasi banyak masalah, sekaligus merupakan alat untuk berproses.
Kebijaksanaan adalah bagaimana menggunakan pengetahuan yang dimiliki dengan sebaik-baiknya, dan mengembangkan kemampuan untuk menyatakan pendapat. Seorang pemimpin yang efektif memiliki penglihatan kebijaksanaan bukan dari matanya, namun dari dalam dirinya. Kebijaksanaan menuntun diri seorang pemimpin untuk mengenali suatu masalah terlebih dahulu sebelum masalah itu terlanjur menjadi besar.

Hukum 4. Pemimpin memiliki keberanian
Keberanian seringkali diungkapkan dengan istilah yang berbeda-beda. Ada yang menyatakannya dalam istilah: kegagahan, kepahlawanan, kecerdikan. Tetapi apapun namanya, keberanian tidak pernah dapat didefinisikan. Keberanian adalah suatu jalan untuk mengekspresikan kekuatan di dalam diri kita, inti dari pikiran kita untuk melawan semua keganjilan, peneguhan bagi kita untuk tetap bertahan pada posisi tersebut.
Tingginya gunung Himalaya menantang keberanian seorang pendaki. Kesulitan pekerjaan memotivasi seorang pemimpin, dan kebutuhan akan bersaing memberikan inspirasi bagi pemimpin. Kepemimpinan sejati adalah mengatakan "ya" untuk hidup, tidak menghindar ketika tugas memanggil. Keberanian adalah bertindak dalam ketakutan, bukan tanpa ketakutan. Keberanian adalah melakukan hal yang ditakutkan. Jika anda melakukan sesuatu tanpa takut, itu bukan keberanian.
Kepemimpinan adalah perjuangan yang memerlukan keberanian. Memiliki keberanian berarti melakukan sesuatu yang diyakini benar, dan bersedia menanggung segala resikonya. Ada beberapa alasan untuk menciptakan keberanian: pemimpin sejati ingin hidup untuk sebuah alasan yang benar dan luhur. Pemimpin sejati sadar bahwa orang memperhitungkan mereka, organisasi dan tim mereka, bahkan keluarga mereka. Pemimpin sejati selalu menjaga visinya menyala dalam dirinya. Inilah yang menumbuhkan keberanian.

(Diambil dari The 10 Laws of Leadership, Bill Newman)

Baca selengkapnya..

Kedewasaan Seseorang

Para ahli psikologi dan psikiater sepakat, bahwa kesuksesan seseorang ditandai dengan berkembangnya prestasi serta kematangan emosinya. Meski tidak ada orang yang menyangkal pernyataan ini, tetapi sedikit orang yang mengetahui secara pasti tentang bagaimana penampilan seseorang yang dewasa atau matang itu, bagaimana cara berpakaian dan berdandannya, bagaimana caranya menghadapi tantangan, bagaimana tanggung jawabnya terhadap keluarga, dan bagaimana pandangan hidupnya tentang dunia ini. Yang jelas kematangan adalah sebuah modal yang sangat berharga.
Sesungguhnya apa yang disebut dengan kematangan atau kedewasaan itu?

Kedewasaan tidak selalu berkaitan dengan intelegensi. Banyak orang yang sangat brilian namun masih seperti kanak-kanak dalam hal penguasaan perasaannya, dalam keinginannya untuk memperoleh perhatian dan cinta dari setiap orang, dalam bagaimana caranya memperlakukan dirinya sendiri dan orang lain, dan dalam reaksinya terhadap emosi. Namun, ketinggian intelektual seseorang bukan halangan untuk mengembangkan kematangan emosi. Malah bukti-bukti menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Orang yang lebih cerdas cenderung mempunyai perkembangan emosi yang lebih baik dan superior, serta mempunyai kemampuan menyesuaikan diri atau kematangan sosial yang lebih baik.
Kedewasaan pun bukan berarti kebahagiaan. Kematangan emosi tidak menjamin kebebasan dari kesulitan dan kesusahan. Kematangan emosi ditandai dengan bagaimana konflik dipecahkan, bagaimana kesulitan ditangani. Orang yang sudah dewasa memandang kesulitan-kesulitannya bukan sebagai malapetaka, tetapi sebagai tantangan.
Apa sih kedewasaan atau kematangan itu? Menurut kamus Webster, adalah suatu keadaan maju bergerak ke arah kesempurnaan. Definisi ini tidak menyebutkan preposisi ”ke” melainkan ”ke arah”. Ini berarti kita takkan pernah sampai pada kesempurnaan, namun kita dapat bergerak maju ke arah itu.
Pergerakan maju ini unique bagi setiap individu. Dengan demikian kematangan bukan suatu keadaan yang statis, tapi lebih merupakan suatu keadaan ”menjadi” atau state of becoming. Pengertian ini menjelaskan, suatu kasus misal, mengapa seorang eksekutif bertindak sedemikian dewasa dalam pekerjaannya, namun sebagai suami dan ayah ia banyak berbuat salah. Tak ada seseorang yang sanggup bertindak dan bereaksi terhadap semua situasi dan aspek kehidupan dengan kematangan penuh seratus persen. Kewajiban setiap orang adalah menumbuhkan kedewasaan itu di dalam dirinya sendiri, dan menjadi bagian dari dirinya sendiri. Berikut ini ada beberapa kualitas atau tanda mengenai kematangan seseorang:
1. Dia menerima dirinya sendiri
Eksekutif yang paling efektif adalah ia yang mempunyai pandangan atau penilaian baik terhadap kekuatan dan kelemahannya. Ia mampu melihat dan menilai dirinya secara obyektif dan realitis. Dengan demikian ia bisa memilih orang-orang yang mampu membantu mengkompensasi kelemahan dan kekurangannya. Ia pun dapat menggunakan kelebihan dan bakatnya secara efektif, dan bebas dari frustasi-frustasi yang biasa timbul karena keinginan untuk mencapai sesuatu yang sesungguhnya tidak ada dalam dirinya. Orang yang dewasa mengenal dirinya sendiri dengan lebih baik, dan senantiasa berusaha untuk menjadi lebih baik. Ia tidak berkepentingan untuk menandingin orang lain, melainkan berusaha mengembangkan dirinya sendiri. Abraham Maslow berkata, ”Orang yang dewasa ingin menjadi yang terbaik sepanjang yang dapat diusahakannya”. Dalam hal ini dia tidak merasa mempunyai pesaing-pesaing.
2. Dia menghargai orang lain
Eksekutif yang efektif pun bisa menerima keadaan orang lain yang berbeda-beda. Ia dikatakan dewasa jika mampu menghargai perbedaan itu, dan tidak mencoba membentuk orang lain berdasarkan citra dirinya sendiri. Ini bukan berarti bahwa orang yang matang itu berhati lemah, karena jika kelemahan-kelemahan yang ada dalam diri seseorang itu sudah sedemikian mengganggu tujuan secara keseluruhan, ia tak segan memberhentikannya. Ukuran yang paling tepat dan adil dalam hubungan dengan orang lain bahwa kita menghormati orang lain, adalah ketiadaan keinginan untuk memperalat atau memanipulasi orang lain tersebut.
3. Dia menerima tanggung jawab
Orang yang tidak dewasa akan menyesali nasib buruk mereka. Bahkan, mereka berpendapat bahwa nasib buruk itu disebabkan oleh orang lain. Sedangkan orang yang sudah dewasa malah mengenal dan menerima tanggung jawab dan pembatasan-pembatasan situasi dimana ia berbuat dan berada. Tanggung jawab adalah perasaan bahwa seseorang itu secara individu bertanggung jawab atas semua kegiatan, atau suatu dorongan untuk berbuat dan menyelesaikan apa yang harus dan patut diperbuat dan diselesaikan. Mempercayakan nasib baik pada atasan untuk memecahkan persoalan diri sendiri adalah tanda ketidakdewasaan. Rasa aman dan bahagia dicapai dengan mempunyai kepercayaan dalam tanggung jawab atas kehidupan sendiri.
4. Dia percaya pada diri sendiri
Seseorang yang matang menyambut dengan baik partisipasi dari orang lain, meski itu menyangkut pengambilan keputusan eksekutif, karena percaya pada dirinya sendiri. Ia memperoleh kepuasan yang mendalam dari prestasi dan hal-hal yang dilaksanakan oleh anak buahnya. Ia memperoleh perasaan bangga, bersama dengan kesadaran tanggung jawabnya, dan kesadaran bahwa anak buahnya itu tergantung pada kepemimpinannya. Sedangkan orang yang tidak dewasa justru akan merasa sakit bila ia dipindahkan dari peranan memberi perintah kepada peranan pembimbing, atau bila ia harus memberi tempat bagi bawahannya untuk tumbuh. Seseorang yang dewasa belajar memperoleh suatu perasaan kepuasaan untuk mengembangkan potensi orang lain.
5. Dia sabar
Seseorang yang dewasa belajar untuk menerima kenyataan, bahwa untuk beberapa persoalan memang tidak ada penyelesaian dan pemecahan yang mudah. Dia tidak akan menelan begitu saja saran yang pertama. Dia menghargai fakta-fakta dan sabar dalam mengumpulkan informasi sebelum memberikan saran bagi suatu pemecahan masalah. Bukan saja dia sabar, tetapi juga mengetahui bahwa adalah lebih baik mempunyai lebih dari satu rencana penyelesaian.
6. Dia mempunyai rasa humor
Orang yang dewasa berpendapat bahwa tertawa itu sehat. Tetapi dia tidak akan menertawakan atau merugikan/melukai perasaan orang lain. Dia juga tidak akan tertawa jika humor itu membuat orang lain jadi tampak bodoh. Humor semestinya merupakan bagian dari emosi yang sehat, yang memunculkan senyuman hangat dan pancaran yang manis. Perasaan humor anda menyatakan sikap anda terhadap orang lain. Orang yang dewasa menggunakan humor sebagai alat melicinkan ketegangan, bukan pemukul orang lain.
7. Dia mempunyai ketabahan, keuletan, dan daya tahan
Orang dewasa bukannya orang yang bebas dari beban. Namun dia selalu mampu bangkit dari goncangan-goncangan hidup, dan tidak berpura-pura seolah-olah semuanya baik. Dia menerima kenyataan bahwa rasa sakit harus dipikul, kesalahan harus diperbaiki, dan tidak perlu menghabiskan waktu untuk menyesali keadaan. Kegagalan mungkin meremukkan orang yang lemah, namun bagi mereka yang dewasa, kegagalan menjadi pelajaran yang berharga.
8. Dia dapat membuat keputusan-keputusan
Orang yang dewasa, meski harus dengan sabar mengumpulkan fakta untuk memecahkan persoalan, dapat mengambil keputusan berdasarkan data-data yang kurang lengkap. Dia sadar bahwa terkadang dia harus mengambil tindakan berdasarkan keyakinan terhadap dirinya sendiri. Dia bersedia memikul resiko, namun tetap berdasarkan perkiraan-perkiraan yang terbaik yang dapat diperolehnya. Dia tahu, jika harus menunggu semua kepastian, mungkin sekali dia akan ketinggalan kereta.
9. Dia memiliki integritas
Seseorang yang matang bukanlah orang yang mudah beralih dan menyimpang karena keinginan-keinginan yang muncul tiba-tiba, namun ia dapat beralih dari satu topik ke topik lain tanpa menjadi kacau dan bingung. Dia bukan orang yang menyerak-nyerakkan energinya sia-sia.
10. Dia senang bekerja
Seseorang yang beremosi sehat dan berkepribadian matang tahu bagaimana menikmati pekerjaannya. Dia jarang bermalas-malasan. Dia menghargai pekerjaannya sehingga mendapatkan kepuasan dalam melakukan sesuatu yang baik. Namun demikian banyak orang yang bekerja sebagai bentuk pelarian atau persembunyian dari persoalan berat dan kekecewaan dalam kehidupan pribadinya. Dorongan yang tidak sehat ini memang bisa membuat perusahaan tempat mereka bekerja mendapat keuntungan, tetapi tidak adil bagi diri mereka sendiri. Bagi mereka yang dewasa, bekerja adalah jalan untuk membangun monumen masa depan mereka. Bekerja merupakan jalan untuk menunjukkan dedikasi mereka, dan menjaga diri untuk tidak berkubang dalam kecemasan-kecemasan dan persoalan mereka sendiri.
11. Dia mempunyai prinsip-prinsip yang kuat
Seseorang yang matang dan dewasa tidak mudah menyerah dalam memegang teguh prinsip-prinsipnya, namun ia luwes jika itu bukan untuk kepentingan pribadinya. Dia mempunyai perasaan nilai yang kuat yang menjadi pembimbingnya dalam bertingkah laku. Bagi mereka yang dewasa, perusahaan dipandang sebagai sebuah makhluk hidup yang perlu untuk diasuh dan dilindungi. Ini menjadikan mereka begitu keras dalam menghadapi orang lain jika keberadaan perusahaan perlu diselamatkan.
12. Dia seimbang
Seseorang yang sudah berkepribadian dewasa akan hidup dalam suatu kehidupan yang berkeseimbangan. Dia sanggup bekerja keras namun juga mampu melepaskan diri dari tekanan-tekanan serta menikmati waktu senggangnya. Dia menyadari perannya dalam perspektif yang lebih besar dan lebih luas.

Bagaimana Mengukur Kedewasaan Anda?
Kedewasaan adalah proses menjadi (a process of becoming). Untuk menilai tingkat kedewasaan anda sendiri, anda perlu melihat dan mencari tanda-tanda pertumbuhan. Bacalah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dan jawablah dengan ”ya” atau ”tidak”. Ingat, tidak ada skor dan tidak ada juga jawaban yang benar atau salah. Daftar pertanyaan ini dapat membantu anda melihat diri anda sendiri secara obyektif. Bila anda mampu melakukannya, anda sudah melangkahkan kaki menuju langkah pertama yang penting bagi pendewasaan diri anda; yaitu menerima diri sendiri.
1–Apakah anda mau menerima tanggung jawab atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh bawahan anda?
2–Apakah bisa mendengarkan orang lain dengan sabar walaupun anda tidak setuju dengannya?
3–Apakah anda mau memeriksa kembali pendapat diri anda sendiri yang biasanya anda anggap sebagai sebuah kebenaran dan hal yang pasti?
4–Apakah anda mengambil satu atau dua minggu libur setiap tahunnya?
5–Apakah anda sanggup menerima reaksi atau umpan balik tentang diri anda, termasuk kritik yang tidak menyenangkan perasaan anda?
6–Apakah anda tidak begitu mudah mengalami perasaan dongkol pada teman-teman sekerja anda? Apakah anda mudah dalam menghadapi mereka?
7–Apakah anda berani mengambil sebuah keputusan yang tidak populer mengenai sesuatu yang anda yakini kebenarannya?
8–Apakah anda menyambut gembira saran-saran dan diskusi dengan bawahan anda?
9–Apakah anda merasa percaya diri bahwa anda dapat menangani persoalan-persoalan anda?
10–Apakah anda merasa tenang dalam pertemuan-pertemuan dan konferensi-konferensi?
11–Apakah anda secara sukarela menerima suatu tantangan baru atau tanggung jawab tambahan baru?
12–Apakah anda berusaha untuk memperbaiki keahlian dengan cara membaca buku bermutu, mengikuti seminar, dan belajar?
13–Apakah anda membina pembantu anda sehingga dapat mengambil alih sebagian pekerjaan dan tangung jawab anda?
14–Apakah anda mengembangkan minat baru dalam organisasi sosial, hobi, dan lain-lain?
15–Apakah anda cenderung menolong orang lain ketimbang mengkritiknya?
16–Apakah anda senantiasa memperbaiki kemampuan anda dalam merencanakan dan menggunakan waktu anda?
17–Apakah anda belajar mewakilkan atau mendelegasikan tugas-tugas anda?
18–Apakah anda merasa baik dalam bergaul dengan bawahan anda dan tidak merasa terancam oleh mereka?
19–Apakah anda jarang marah?
20–Apakah anda mampu melihat segi-segi humor dalam kebanyakan peristiwa?
21–Apakah anda mempunyai waktu yang cukup untuk keluarga anda?
22–Apakah anda mempunyai pendapat-pendapat baru mengenai diri anda sendiri?
23–Apakah anda mempunyai sahabat-sahabat baru?
24–Apakah anda mengubah pendapat dan perasaan anda mengenai beberapa hal?
25–Apakah anda bisa hidup tenang dengan persoalan yang belum anda temukan pemecahaannya?
26–Apakah cukup banyak orang yang meminta dan mencari nasehat atau bantuan dari anda?
27–Apakah anda semakin banyak melakukan sesuatu dengan lebih sedikit usaha?
28–Apakah anda mempunyai sesuatu keyakinan yang semakin kuat tentang kebenaran-kebenaran dasar, mengenai agama, filsafat, yang anda yakini?

(Diringkas dari The Effective Psychology for Manager, Mortimer R. Feinberg, Ph.D)

Baca selengkapnya..

Think Outside the Box

Di dalam sebuah ujian Fisika di Universitas Copenhagen, seorang dosen penguji mengajukan pertanyaan kepada salah seorang mahasiswanya:
”Jelaskan bagaimana mengukur tinggi suatu bangunan pencakar langit dengan menggunakan sebuah barometer.”
Mahasiswa tersebut menjawab: "Ikatlah leher barometer itu dengan seutas tali panjang, lalu turunkan barometer dari pucuk gedung pencakar langit sampai menyentuh tanah. Panjang tali ditambah panjang barometer akan sama dengan tinggi pencakar langit."
Jawaban yang luar biasa "orisinil" ini membuat dosen penguji begitu geram. Akibatnya si mahasiswa langsung tidak diluluskan.

Si mahasiswa naik banding, karena menurutnya kebenaran atas jawaban itu tidak bisa disangkal. Kemudian universitas menunjuk seorang arbiter yang independen untuk memutuskan kasus itu. Arbiter menyatakan bahwa jawaban itu memang benar dan tidak bisa disangkal, hanya saja tidak memperlihatkan secuil pun pengetahuan mengenai ilmu fisika.
Untuk mengatasi permasalahan itu, disepakati untuk memanggil si mahasiswa, dan memberinya waktu enam menit untuk memberikan jawaban verbal yang menunjukkan latar belakang pengetahuannya mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu fisika. Selama lima menit, si mahasiswa duduk tepekur, dahinya berkerut. Arbiter mengingatkan bahwa waktu sudah hampir habis.
Mahasiswa itu menjawab bahwa ia sudah memiliki berbagai jawaban yang sangat relevan, tetapi tidak bisa memutuskan yang mana yang akan dipakai. Saat diingatkan arbiter untuk bersegera memberikan jawaban, si mahasiswa menjelaskan sebagai berikut:
"Pertama-tama, ambillah barometer dan bawalah sampai ke atap pencakar langit. Lemparkan ke tanah, lalu ukurlah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tanah. Ketinggian bangunan bisa dihitung dari rumus H = 0.5x g x t kwadrat. Tetapi kan sayang barometernya jadi pecah."
"Atau, bila matahari sedang bersinar, anda bisa mengukur tinggi barometer, tegakkan di atas tanah, dan ukurlah panjang bayangannya. Setelah itu, ukurlah panjang bayangan pencakar langit, sehingga hanya perlu perhitungan aritmatika proporsional secara sederhana untuk menetapkan ketinggian pencakar langitnya."
"Tapi kalau anda betul-betul ingin jawaban ilmiah, anda bisa mengikat seutas tali pendek pada barometer dan menggoyangkannya seperti pendulum. Mula-mula lakukan itu di permukaan tanah lalu di atas pencakar langit. Ketinggian pencakar langit bisa dihitung atas dasar perbedaan kekuatan gravitasi T = 2 phi akar dari (l/g)."
"Atau kalau pencakar langitnya memiliki tangga darurat di bagian luar, akan mudah sekali untuk menaiki tangga, lalu menggunakan panjangnya barometer sebagai satuan ukuran pada dinding bangunan, sehingga tinggi pencakar langit = penjumlahan seluruh satuan barometernya pada dinding pencakar langit."
"Bila anda hanya ingin membosankan dan bersikap ortodoks, tentunya anda akan menggunakan barometer untuk mengukur tekanan udara pada atap pencakar langit dan di permukaan tanah, lalu mengkonversikan perbedaannya dari milibar ke satuan panjang untuk memperoleh ketinggian bangunan."
"Tetapi karena kita senantiasa ditekankan agar menggunakan kebebasan berpikir (think outside the box) dan menerapkan metoda-metoda ilmiah, tentunya cara paling tepat adalah mengetuk pintu pengelola gedung dan mengatakan: ’Bila Anda menginginkan barometer baru yang cantik ini, saya akan memberikannya pada Anda jika anda memberitahukan kepada saya berapa ketinggian pencakar langit ini.”
Melihat jawaban yang diberikan kepada arbiter, semua orang sadar bahwa mahasiswa ini tidak bodoh, tetapi pertanyaan penguji telah menggiringnya ke arah jawaban yang tidak dikehendaki penguji.

Mahasiswa itu adalah Niels Bohr, warga Denmark genius yang kelak akan memenangkan hadiah Nobel untuk bidang Fisika.

Baca selengkapnya..

e-Learning: Sebuah Proses Spiralisasi Pengetahuan


Teringat beberapa tahun yang lalu, ketika pertama kali mendapat kesempatan arubaito (kerja part-time) sebagai programmer di beberapa perusahaan di Jepang. Yang terpikirkan saat itu adalah keuntungan materi dan pengalaman yang akan saya dapat. Waktu terus berjalan, perusahaan demi perusahaan saya hampiri, pengalaman demi pengalaman saya dapatkan. Dari menjadi sistem engineer, network administrator, programmer, lecturer, sampai konsultan pun sudah pernah saya jalani.
Dan tanpa saya sadari, ternyata ada satu hal penting yang telah saya lupakan. Pengalaman dan pengetahuan yang saya lalui, juga know-how yang saya kuasai, sebenarnya belumlah menjadi pengetahuan yang benar-benar berguna. Atau dengan kata lain, saya belum “menghidupkan” pengetahuan yang saya miliki secara berkesinambungan untuk diri sendiri, dan juga dalam kemasan pengetahuan yang bisa mencerahkan orang lain. Jadi saya belum mengubahnya menjadi sesutu yang bermanfaat secara luas.

Proses Spiralisasi Pengetahuan
Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi melalui bukunya berjudul “The Knowledge Creating Company” [Nonaka95] mengupas dengan indah fenomena ini. Pengetahuan (knowledge) manusia pada hakekatnya terbingkai menjadi dua: explicit knowledge dan tacit knowledge. Explicit knowledge adalah pengetahuan yang tertulis, terarsip, tersebar (cetak maupun elektronik) dan dapat berfungsi sebagai bahan pembelajaran (reference) untuk orang lain. Sedangkan tacit knowledge merupakan pengetahuan yang berbentuk know-how, pengalaman, skill, pemahaman, maupun rules of thumb. Yang juga disebut oleh Michael Polyani (pengarang buku the tacit dimension) sebagai fenomena “pengetahuan kita jauh lebih banyak daripada yang kita ceritakan”.
Suatu pengetahuan untuk bisa menjadi “lebih hidup” dan bermanfaat secara luas harus melewati fase “pengubahan”, atau Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi menyebutnya sebagai suatu dalam proses knowledge spiral (lihat Gambar).


Saya sendiri lebih senang menyebut proses itu dengan Spiralisasi Pengetahuan. Dan inilah ternyata hal penting yang tidak saya lakukan. Saya terlupa untuk mengadakan spiralisasi pengetahuan yang akarnya terbagi menjadi empat:
Yang pertama adalah proses eksternalisasi (externalization), yaitu mengubah tacit knowledge yang kita miliki menjadi explicit knowledge. Bisa dengan menuliskan know-how dan pengalaman yang kita dapatkan dalam bentuk tulisan artikel atau bahkan buku apabila perlu. Dan tulisan-tulisan tersebut akan sangat bermanfaat bagi orang lain yang sedang memerlukannya. 14 abad yang lalu,
Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan konsep yang mirip dengan proses eksternalisasi ini, dalam ucapan beliau yang sangat terkenal, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”.
Yang kedua adalah proses kombinasi (combination), yaitu memanfaatkan explicit knowledge yang ada untuk kita implementasikan menjadi explicit knowledge lain. Proses ini sangat berguna untuk meningkatkan skill dan produktifitas diri sendiri. Kita bisa menghubungkan dan mengkombinasikan explicit knowledge yang ada menjadi explicit knowledge baru yang lebih bermanfaat.
Yang ketiga adalah proses internalisasi (internalization), yakni mengubah explicit knowledge sebagai inspirasi datangnya tacit knowledge. Dari keempat proses yang ada, mungkin hanya inilah yang telah kita lakukan. Bahasa lainnya adalah learning by doing. Dengan referensi dari manual dan buku yang ada, saya mulai bekerja, dan saya menemukan pengalaman baru, pemahaman baru dan know-how baru yang mungkin tidak saya dapatkan dari buku tersebut.
Yang keempat adalah proses sosialisasi (socialization), yakni mengubah tacit knowledge ke tacit knowledge lain. Ini adalah hal yang juga terkadang sering kita lupakan. Kita tidak manfaatkan keberadaan kita pada suatu pekerjaan untuk belajar dari orang lain, yang mungkin lebih berpengalaman. Proses ini membuat pengetahuan kita terasah dan juga penting untuk peningkatan diri sendiri. Yang tentu saja ini nanti akan berputar pada proses pertama yaitu eksternalisasi. Semakin sukses kita menjalani proses perolehan tacit knowledge baru, semakin banyak explicit knowledge yang berhasil kita produksi pada proses eksternalisasi.

Mengambil Pelajaran dari Matsushita Electric
Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi mengilustrasikan fenomena spiralisasi pengetahuan sebagai hasil dari pengalaman perusahaan matsushita electric dalam mengembangkan mesin pembuat roti.
Konon pada era tahun 1985, matsushita electric menemui kesulitan besar dalam produksi mesin pembuat roti. Mereka selalu gagal dalam percobaan yang dilakukan. Kulit luar roti yang sudah gosong padahal dalamnya masih mentah, pengaturan volume dan suhu yang tidak terformulasi, adalah pemandangan sehari-hari dari percobaan yang dilakukan.
Adalah seorang pengembang software matsushita electric bernama Ikuko Tanaka yang akhirnya mempunyai ide cemerlang untuk pergi magang langsung ke pembuat roti ternama di Osaka International Hotel. Dia dibimbing langsung oleh sang pembuat roti ternama tersebut untuk belajar bagaimana mengembangkan adonan dan teknik khusus lainnya. Selesai magang dia presentasikan seluruh pengalaman yang didapat. Pada engineer matsushita electric menerjemahkannya dengan penambahan part khusus dan melakukan perbaikan lain pada mesin. Percobaan yang dilakukan akhirnya sukses. Dan produk mesin pembuat roti tersebut akhirnya memecahkan rekor penjualan alat perlengkapan dapur terbesar pada tahun pertama pemasaran.
Ilustrasi di atas adalah sebuah kasus keberhasilan proses spiralisasi pengetahuan. Dan sebenarnya kita bisa menerjemahkannya ke dalam suatu hal yang sederhana dan dalam perspektif apapun, baik dalam lingkungan kerja yang sedang kita jalani, dalam kehidupan bermasyarakat, maupun dalam proses pendidikan keluarga dan anak.
Menguraikan pengalaman dalam bentuk sebuah tulisan yang bisa dimengerti orang lain. Kemudian meningkatkan diri dengan belajar dari sumber lain untuk mengembangkan tulisan tersebut menjadi tulisan lain yang lebih berbobot. Menikmati proses learning by doing sebagai sebuah proses mematangkan diri. Dan tidak melewatkan untuk belajar secara langsung dari orang lain yang lebih berpengalaman apabila ada kesempatan. Adalah prinsip dasar dari proses spiralisasi pengetahuan. Hasil yang ingin kita dapatkan dari proses tersebut adalah bermunculannya pengetahuan-pengetahuan baru yang lebih berguna dalam perspektif bagi pemiliknya maupun juga untuk orang lain yang ingin memanfaatkannya.
Saya sendiri saat ini bersama-sama rekan yang lain sedang kembali menerawang ke belakang, mencoba mengumpulkan tacit-tacit knowledge yang pernah kami miliki dan mengubahnya dalam bentuk explicit knowledge dalam bentuk sebuah komunitas pembelajaran bersama, yang biasa kita sebut sebagai komunitas e-Learning.

Ditulis oleh: Romi Satria Wahono
Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah LIPI

Baca selengkapnya..

Profesionalisme dengan Keimanan

Allah SWT berfirman dalam QS Al-Isra' ayat 84 yang artinya, ”Katakanlah, tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya (keahlian dan profesinya) masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.”
Bekerja sesuai dengan kecenderungan, keahlian, dan profesi yang ditekuni, bagi seorang Muslim merupakan suatu keniscayaan. Karena, hal ini akan menyebabkan hasil yang dicapai relatif lebih optimal. Apalagi jika disertai dengan ketekunan dan kesungguhan, maka dipastikan akan mengundang rahmat, pertolongan, dan cinta Allah SWT.

Tentang hal tersebut, sebagaimana dikemukakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Thabrani, Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah SWT mencintai seseorang yang apabila mengerjakan suatu pekerjaan, dilakukannya dengan penuh kesungguhan (itqan).”
Sebaliknya, bekerja yang dilakukan tanpa didasari keahlian dan pengetahuan yang berkaitan dengannya, tidak akan menghasilkan sesuatu yang maksimal. Bekerja tanpa keahlian dan pengetahuan juga dianggap sebagai suatu bentuk ketidakamanahan terhadap tugas dan tanggung jawab.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, ”Jika suatu amanah telah disia-siakan, maka tunggulah saat kehancurannya.” Beliau ditanya, bagaimanakah bentuk menyia-nyiakan amanah itu? Beliau menjawab, ”Jika suatu pekerjaan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.”
Dari ayat dan hadits-hadits tersebut di atas bisa dipahami pula bahwa profesionalitas yang sesungguhnya adalah jika disertai dengan keimanan dan keyakinan kepada Allah SWT yang memiliki sifat rahman dan rahim, Maha Pengasih dan Maha Penyayang, bukan keahlian yang semata-mata mengandalkan pada keterampilan akal pikiran dan raga semata-mata. Perpaduan kedua hal ini (profesionalisme dengan keimanan) akan melahirkan hasil yang bukan saja bersifat maksimal sesuai dengan harapan dan cita-cita, akan tetapi juga bersifat abadi dunia dan akhirat.
Karena itu, setiap Muslim dituntut memiliki keahlian yang mumpuni dalam suatu bidang pekerjaan tertentu, disertai dengan keimanan dan keyakinan yang kuat, agar semuanya melahirkan amal shaleh yang pahalanya tidak akan pernah terputus, seperti digambarkan dalam QS At-Thin ayat 6, ”Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka bagi mereka pahala yang tidak terputus-putusnya.” Wallahu A'lam bi Ash-Shawab.

Ditulis oleh: KH Didin Hafidhuddin

Baca selengkapnya..

Majikan dan Pekerja

Hari Buruh seringkali dijadikan momen oleh para pekerja untuk berdemonstrasi, menggugat majikan dan menuntut segala hal yang menjadi hak mereka. Ini tak perlu terjadi seandainya selama ini hubungan antara pekerja dan majikan terjalin harmonis.

Keharmonisan antara pekerja dan majikan akan terjalin bila setiap pihak memandang pekerjaannya sebagai lahan ibadah. Dalam Islam, bekerja adalah ibadah. Bekerja menjadi bukti dan manifestasi keimanan seseorang. Dalam Alquran terdapat ratusan kata ”iman” yang diikuti dengan kata ”amal”. Allah SWT berfirman, ”Barang siapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh (bekerja dengan baik).” (QS Al kahfi [18]:110). Rasulullah SAW bersabda, ”Tidak ada satu makanan yang dimakan seseorang, yang lebih baik daripada makanan hasil usahanya sendiri.” (HR Bukhari).
Motivasi seorang Muslim dalam bekerja, baik itu posisinya sebagai majikan ataupun pekerja, bukanlah sekadar mengejar upah/gaji, namun juga mengejar keridhaan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang melakukan pekerjaannya dengan baik dan tekun.” (HR Baihaqi).
Keharmonisan antara pekerja dan majikan akan terbangun bila setiap pihak menunaikan perannya dengan baik dan profesional. Pekerja bekerja dengan penuh disiplin, amanah, dan tanggung jawab. Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah adalah Zat yang terbaik dan sangat mencintai yang baik dan tidak menerima sesuatu kecuali jika dilakukan dengan baik.” (HR Baihaqi).
Majikan pun demikian, harus menunaikan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab dan rasa kepedulian. Majikan harus mampu memenuhi hak-hak pekerjanya serta berinteraksi dengan penuh empati dan kasih sayang. Rasulullah SAW berkata kepada Ma'rur bin Suwaid, ”Janganlah engkau membebani pekerjaan kepada mereka jika hal tersebut akan memberatkannya. Tapi, jika engkau menyuruhnya juga, maka hendaklah engkau turut membantunya.”
Dalam hadis lain Rasul SAW bersabda, ”Barang siapa mempekerjakan seseorang, hendaklah dia memberitahukan gajinya dan jangan mempekerjakan seseorang sebelum menjelaskan gajinya.” (HR Baihaqi dan Ibnu Hanbal). Jadi, sudah menjadi suatu keniscayaan bahwa pantang bagi majikan Muslim menahan atau bahkan mengurangi gaji pekerjanya. Demikianlah hubungan perburuhan dalam Islam. Majikan dan pekerja seharusnya mampu bekerja sama secara harmonis agar laju pekerjaan berlangsung efektif dan bernilai ibadah. Wallahu a'lam bish-shawab.

Ditulis oleh: Rashid Satari

Baca selengkapnya..

Bekerja dan Beribadah

Hidup adalah gerak dan bekerja. Hidup tanpa kerja adalah hampa. Persoalannya adalah bagaimana agar pekerjaan itu memiliki nilai. Dan apa motif yang mendasari pekerjaan kita itu.

Manusia diciptakan Allah SWT untuk beribadah. Islam tidak membatasi makna ibadah hanya ritual keagamaan, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Tapi lebih dari itu, semua pekerjaan keduniawian bisa memiliki arti ibadah. Artinya, bukan hanya materi yang kita dapat, tetapi juga ridha dan pahala dari Allah SWT.
Petani yang bekerja di sawah, pegawai yang bekerja di kantor, pedagang, nelayan, pengusaha, semua pekerjaan itu bisa bernilai ibadah manakala memenuhi beberapa syarat, seperti yang dituliskan Imam al-Ghazali dalam bukunya Al-Ibadah fi al-Islam.
Pekerjaan itu jelas bukan kategori yang diharamkan Allah SWT, seperti bertransaksi dengan cara riba, menjual narkoba atau miras, bekerja di tempat maksiat, dan memperdagangkan wanita. Pekerjaan itu juga harus dibarengi dengan niat kebaikan dan ikhlas.
Bekerja untuk memenuhi kebutuhan pribadi, menafkahi keluarga, memakmurkan bumi sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT. Bekerja bukan untuk menumpuk harta, riya', bermegah-megahan, atau ingin dihormati orang lain.
Berikutnya, rutinitas pekerjaan itu tidak membuatnya lalai dan meninggalkan ibadah ritual. ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS Al-Munafiqun: 9).
”Laki-laki yang tidak lalai oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayar zakat.” (QS An-Nuur: 37).
Selanjutnya Imam al-Ghazali mengingatkan agar pekerjaan itu tidak dilakukan dengan cara merampas hak orang lain, mengkhianati, berlaku curang, dan menipu. Pekerjaan harus dilakukan secara profesional, cermat, dan baik. Artinya, pekerjaan itu harus dilakukan berdasarkan ilmu pengetahuan terkait. ”Sesungguhnya Allah menyukai hambanya yang melakukan pekerjaannya dengan profesional.” (HR Baihaqi).
Sebagai Muslim, kita harus berusaha menjadikan setiap pekerjaan memiliki nilai ibadah, memberi keuntungan materi dunia, dan pahala untuk kepentingan akhirat. Ukuran paling sederhana adalah kesucian niat dan keikhlasan melakukan pekerjaan, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan syariat Allah SWT dan Rasul-Nya.
Sedangkan untuk melakukan pekerjaan secara baik dan benar harus didasarkan pada ilmu-ilmu yang terkait dengan bidangnya. Namun, ilmu-ilmu itu pun harus tidak bertentangan dengan Alquran dan hadis Rasulullah SAW.

Baca selengkapnya..